Oleh : Joko Dwi Hastanto
PERISTIWA menginapnya ratusan orang tua dan anak yang akan mendaftar di SMP N 1 Tawangmangu membuka mata kita soal carut marut sistem pendidikan di Indonesia. Celakanya justru kita baru menginjak bahasan soal pendidikan dasar yang baru mulai dicanangkan sejak beberapa tahun terakhir ini.
Betapa tidak miris, sudah 70 tahun kita merdeka, namun kita masih berkutat pada soal bahasan pendidikan dasar. Lalu kapan kita bisa seperti negara lain yang mulai berhitung banyaknya doktor yang dihasilkan tahun itu ? Kapan kita maju ?
Bagaimana tidak prihatin, melihat orang tua dan anak menginap di halaman sekolah demi dulu-duluan mendapatkan formulir karena siapa yang dulu mendaftar itu yang diterima. Dan celakanya kuota untuk itu ternyata hanya 5 % saja jumlahnya dari yang diterima secara keseluruhan.
Ada beberapa masalah yang tidak tuntas dalam soal itu. Pertama perubahan dari on line seperti tahun lalu menjadi off line di tahun ini. Hanya dana Rp 200 juta saja kepentingan pendidikan dikorbankan. Sebab tahun lalu tidak mencuat masalah itu, namun karena ketiadaan dana yang hanya sebesar itu untuk on-line PPDB terpaksa diubah jadi off line.
Baca : PPDB Karanganyar Ricuh, Orang Tua Nginap Di Halaman Sekolah
Baca : Zonasi PPDB SMP Berubah
Kedua, proporsi PPDB yang 90 % zonasi dan 5 % diperebutkan, serta 5 % dari jalur prestasi tidak disosialisasi, sehingga sangat aneh jika masyarakat memperebutkan yang 5 % tapi menafikan yang 90 %, sampai mebnginap segala.
Ketiga, masyarakat ternyata begitu mudah terprovokasi ketika pengelola SMP Tawangmangu menata kursi untuk melayani pendaftaran siswa baru itu, sehingga mereka mengira harus rebutan dan siapa mendaftar dulu, akan diterima. Padahal dalam Permendagri disebutkan bahwa rebutan dilakukan jika on line, dan pendaftar yang berlebih maka akan direbut berdasarkan angka tertinggi NEM.
Apapun itu, pendidikan di Indonesia memang masih carut marut. Pemeo ganti pejabat ganti kebijakan, agaknya benar adanya. Sejak Orde Baru sampai sudah reformasi, setiap pejabat serasa tidak afdhol jika tidak membuat kebijakan baru. Seakan meneruskan kebijakan pejabat lama adalah hal tabu.
Tengoklah. Sejak reformasi saja, Wardiman Djojonegoro membuat kebijakan link and match. Meski tidak heboh, kebijakan itu menelorkan semangat untuk tumbuhnya SMK di Indonesia, sebagai penyedia tenaga kelas menengah.
Kemudian penerusnya mulai berkutat dengan pendidikan dasar sampai SMP serta disusul dengan kebijakan wajib belajar agar saat usai magrib sampai jam 21.00 semua tivi dimatikan dan orang tua mendampingi anak belajar.
Kebijakan ini juga tidak heboh karena hanya imbauan, sama dengan di tahun 1970-an saat dimulainya program SD Inpres agar membuat pendidikan bisa merata dan ada di setiap pelosok Indonesia.
Meski setiap daerah menyambut baik, bahkan menggelar operasi ke rumah-rumah agar kegiatan wajib belajar terlaksana, namun hanya sekejap saja program ini sukses. Setelahnya tenggelam dalam hiruk pikuk kegiatan lain di negeri ini.
Yang fenomenal memang Muhajir Effendy ini. Kader Muhammadiyah yang dipasang menggantikan Anies Baswedan agar ormas yang biasa bersuara keras pada pemerintahan Jokowi itu bisa lebih lunak, ternyata kebijakannya selalu memunculkan hiruk pikuk.
Pertama begitu menjabat dia mencoba bermurah hati dengan mewajibkan sekolah menerima minimal 20 % siswa dari kalangan keluarga miskin. Namun alih-alih program populis ini bisa sedikit membahagiakan keluarga miskin, yang terjadi malah kegaduhan.
Ada lebih dari 5.000 keluarga di Jateng yang mendadak miskin, dengan menenteng surat tanda keterangan miskin dari kelurahan. Pak lurah dengan enteng membuat keterangan miskin itu kepada siapapu tanpa pandang bulu.
Walhasil, banyak protes bermunculan karena orang kemana-mana naik mobil Pajero namun juga membawa keterangan miskin ke sekolah. Mereka tidak malu karena demi anak sekolah di sekolah favorit, dianggap miskin dan pura-pura miskin tidak masalah.
Gagal sudah program populis ini yang maunya agar sekolah memperhatikan siswa miskin agar bisa sekolah dengan baik. Yang agak lumayan adalah program bidik misi di universitas, yang meski harus diteliti ulang karena masih banyak yang pura-pura miskin, program ini berlalu tanpa kegaduhan.
Program selanjutnya adalah sistem zonasi, agar semua sekolah memperhatikan siswa di sekitarnya, dan agak mulai menghilangkan sekolah favorit, sebab siapapun asal dekat dengan lingkungan sekolah, yakin akan diterima bersekolah di situ.
Baca : Orang Tua Ketar Ketir Tak Dapat Sekolah
Program ini bukan tanpa penyelewengan. Sebab banyak anak yang tiba-tiba dipindahkan ke kartu keluarga yang dekat dengan sekolah favorit agar bisa diterima sekolah di sana. Juga kejadian di SMP Tawangmangu merupakan imbas dari kebijakan itu. Agaknya tidak ada kebijakan yang tidak disiasati demi anak bisa sekolah di sekolah favorit.
Ada baiknya pemerintah mulai menengok lagi kebijakan zaman dahulu, misalnya program SD Inpres yang dicanangkan Pak Harto di era menjelang tahun 1970-an sampai awal tahun 1970-an. Sebab kebijakan itu merupakan pemerataan pendidikan.
Diakui atau tidak di Indonesia saat ini pendidikan belum merata. Memang di kota-kota di Jawa, sekolah dasar sudah mulai diregrouping. Artinya tingkat pendidikan super dasar itu sudah mulai hilang. Anak-anak sudah menikmati sekolah SD. Bahkan gratis karena pemda menanggungnya.
Namun di luar Jawa seperti di Papua, Sumatra, atau Kalimantan, agaknya belum. Masih dibutuhkan sekolah dasar di berbagai daerah. Program itu layak diteruskan meski tinggalan Orba, sebab kenyataannya masih ada yang membutuhkan. Program itu sudah lama ditinggalkan.
Program lainnya adalah wajib belajar. Sebab diakui program itu belum sepenuhnya disadari masyarakat. Masih banyak yang bahkan tidak malu karena anak belum sekolah. Terutama di pelosok. Program wajib belajar yang sudah mengharuskan sampai tingkat SMP itu masih sangat perlu diteruskan.
Baca : PPDB SMA Tak Beri Ruang untuk Siswa Bernilai Tinggi
Dan yang juga perlu adalah wajib belajar saat usai magrib sampai pukul 21.00. Banyak orang tua yang belum menyadari perlunya anak didorong dan didampingi belajar, bukan malah orang tua menghidupkan tivi di samping ruang belajar anak, atau di kamar anak disediai televisi dan perangkat VCD dan DVD sehingga anak bebas melihat film atau tontonan lain meski jam belajar.
Intinya, tidak ada salahnya pejabat itu meneruskan kebijakan pejabat lama yang bagus. Malah dengan meneruskan kebijakan lama yang masih perlu dan menyempurnakan, akan lebih membuat harum nama pejabat itu dan juga negara.
· *wartawan Suara Merdeka