sumbangsih-keraton1
SEJAK ditetapkan definitif sebagai Sekjen FKIKN di FKN 3 Keraton Kutai Kartanegara (Tenggarong-Kaltim) tahun 2002, Gusti Moeng selalu aktif memimpin forum-forum diskusi dan silaturahmi kalangan anggota forum, seperti yang terjadi saat berlangsung sesi musyawarah anggota forum yang mewarnai pelaksanaan FKN 4 Keraton Jogja di tahun 2004. (newsreal.id/Won Poerwono)

Sumbangsih Masyarakat Adat untuk Jaga Kebhinekaan dan Keutuhan NKRI (1-bersambung)

SEBUAH event yang diinisiasi bersama antara Keraton Surakarta, Keraton Jogjakarta dan Ditjen Pariwisata Deparpostel di era pemerintahan Orde Baru bernama Gelar Budaya atau Festival Budaya Keraton Catur Sagatra di tahun 1990-an, akhirnya dilembagakan secara nasional menjadi Festival Keraton Nusantara yamg digelar kali pertama di Kota Solo tahun 1995. Event gelar potensi seni budaya lembaga masyarakat adat yang disajikan tiap kontingen dari keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat dari berbagai daerah di Nusantara itu, dilangsungkan bersamaan dengan lahirnya wadah yang disebut Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN) itu.

Mengapa event itu lahir dan untuk apa? Snewsreal.id dan Suara Merdeka mencatat, pidato laporan Menparpostel Soesilo Soedarman di depan Wapres Try Soetrisno, kemudian ditegaskan lagi oleh Dirjen Pariwisata Joop Ave saat menjawab pertanyaan para wartawan kurang lebih menyebutkan bahwa event tersebut dimaksudkan untuk memperkokoh ketahanan budaya bangsa. Selain itu, potensi seni budaya (intangible) dan bangunan peninggalan sejarah (tangible), perlu dibangkitkan agar menjadi atraksi wisata guna meningkatkan devisa negara dari sektor pemberdayaan dan pengembangan pariwisata.

Mengenai poin pengokohan ketahanan budaya bangsa menjadi fokus pemerintah saat itu, jelas sangat beralasan di tengah mulai derasnya arus informasi yang membawa masuk unsur-unsur kebudayaan barat ke dalam negeri. Poin berikut meningkatkan perolehan devisa negara yang bersumber dari sektor pariwisata, mendorong pemerintah membangkitkan potensi seni budaya yang bersumber dari lingkungan keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir yang tersebar di seluruh Nusantara, juga sangat beralasan di tengah cadangan sumber energi andalan bumi minyak sudah mulai berkurang.

sumbangsih-keraton2
SETAHUN menjelang peristiwa reformasi (1998), kontingen Keraton Surakarta masih tampak lengkap mengerahkan koleksi kereta kunonya beserta sejumlah bregada prajurit saat hadir di FKN 2 di Keraton Kasepuhan, Cirebon (Jabar) tahun 1997. (newsreal.id/Won Poerwono)

Dua Poin

Dua poin tersebut di atas, tentu sudah bisa menjawab pertanyaan mengapa FKN lahir dan untuk apa? Tetapi dalam perjalanan kemudian, bangsa dan negara ini harus mengalami perubahan dahsyat akibat derasnya arus modernisasi di bidang teknologi informasi yang membawa angin kebebasan. Peristiwa runtuhnya rezim Orde Baru (1998) memasuki era Orde Reformasi, ikut merubah paradigma sekaligus tantangan bagi berbagai kalangan yang berkepentingan terhadap eksistensi dan makna FKIKN berikut produknya (FKN), terhadap ancaman keretakan tali silaturahmi antar komponen bangsa ini.

”Saya kira, pascaperistiwa 1998, stamina semua komponen bangsa ini menjadi ikut terkuras. Keuangan negara juga terpengaruh. Peristiwa itu tentu berpengaruh pada penyelenggaraan FKN. Tetapi, FKN IIII yang digelar di Kutai Kartanegara (Kaltim) tahun 2002, memang pengecualian. Karena provinsi itu masih kaya beberapa jenis komoditas pertambangan. Soal biaya penyelenggaraan FKN, saya kira tidak masalah,” jelas anggota Dewan Pakar FKIKN/FSKN, KPH Edy Wirabhumi sedikit melukiskan berlangsungnya FKN III ketika menjawab pertanyaan newsreal.id, kemarin.

Memasuki alam reformasi yang pemerintahannya berganti tiap lima tahun, dari bupati/wali kota, gubernur hingga presiden/wakilnya serta keanggotaan dewan dari DPRD kota/kabupaten hingga DPR RI, dinamika politik dan perubahan sosial ternyata sangat berpengaruh pada eksistensi kalangan anggota FKIKN. Keretakan hubungan antar komponen bangsa akibat lahirnya parpol-parpol sejak Pemilu 1999, ternyata terus menguat dan menajam hingga melahirkan organisasi baru di luar FKIKN, seperti Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara (FSKN), Marsi dan sebagainya.

Ancaman terhadap tegaknya NKRI, keutuhan kebhinekaan, UUD 45 dan ideolodi Pancasila yang kian menajam dan memuncak di sekitar Pileg/Pilpres hingga berujung putusan perselisihan hasilnya di Mahkamah Konstitusi, belum lama ini. KPH Edy Wirabhumi meyakini, hanya dengan seni budaya yang masih dipancarkan keraton-keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat anggota FKIKN maupun FSKN dan lainnya, akan mampu menjadi benteng terakhir untuk mengatasi ancaman itu, apabila diberdayakan dan diberi kesempatan.

sumbangsih-keraton3
KONTINGEN Keraton Banten (Jabar) yang berisikan masyarakat adat setempat, juga ikut andil mengeluarkan replika kapal potensi kemaritimannya pada karnaval pembukaan FKN 2 tahun 1997 di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jabar. (newsreal.id/Won Poerwono)

Alternatif Selain FKN

Sebab itulah, FKIKN memandang tetap berjalan terus ke depan dengan menggelar kegiatan-kegiatan seni budaya dan aktif memberi masukan kepada pemerintah, dalam rangka berupaya merajut kembali tali silaturahmi komponen bangsa yang sangat bhineka ini, demi tegak dan utuhnya NKRI, UUD 45 dan Pancasila. Kondisi keuangan negara memang berat bila selalu dibebani untuk membiayai kegiatan-kegiatan FKIKN seperti FKN, atau FSKN berupa FKN-Masyarakat Adat Asean (MAA) seperti yang terakhir digelar di Keraton Sumenep (Madura-2018) misalnya, tetapi FKN harus berjalan terus mengingat peran, tugas dan tanggungjawabnya yang besar untuk memberi sumbangsih bagi bangsa dan negara ini.

Dan dalam kerangka itu, serta mengingat tugas dan kewajiban terhadap bangsa dan negara, FKIKN bersama FSKN dan organisasi-organisasi sejenis lainnya terus berupaya mencari alternatif lain untuk melengkapi FKN dengan bentuk-bentuk kegiatan yang sudah ada. Upaya lain itu di antaranya kerjasama antara sesama anggota FKIKN dan FSKN bersama pemerintah untuk pemberdayaan kebudayaan dan ekonomi. Karena, tali silaturahmi bisa tumbuh kuat di antara komponen bangsa, ketika lahir energi untuk saling memberdayakan terutama di bidang ekonomi, baik bagi lembaga-lembaga masyarakat adat anggota forum maupun masyarakat di lingkungan masing-masing.

”Tetapi, basis utamanya adalah potensi seni budaya dan masyarakat adat anggota FKIKN sebagai subjeknya. Saya sangat yakin, cara dan pilihan subjek sebagai agen sekaligus sumber potensi pemberdayaan itu, pasti akan tepat. Sebab, seni budaya dan keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat, bisa menampung apapun partainya, apapun agamanya, apapun rasnya. Inilah potensi sumber energi ketahanan nasional yang sangat dibutuhkan saat ini,” jelas Pimpinan Lembaga Hukum Keraton Surakarta itu. (Won Poerwono)

Tinggalkan Pesan