JAKARTA,newsreal.id – Jakarta krisis udara bersih, benarkah ?
Berikut ini adalah penjelasannya yang dikutip dari berbagai sumber. Seperti diketahui, berdasarkan survei, indeks kualitas udara atau air quality index (AQI) Ibu kota berada pada titik mengkhawatirkan.
Mengapa bisa demikian?
Ranking kualitas udara Jakarta berada di urutan ketiga dunia. Data ini merupakan rilis resmi berdasar data AirVisual, situs penyedia peta polusi udara.
Indeks kualitas udara Jakarta berada di angka 145, masuk kategori tidak sehat. Peringkat-peringkat terdahulunya, pertama dan kedua diduduki Dhaka (Bangladesh) dan Dubai (Uni Emirat Arab) dengan masing-masing AQI sebesar 150 dan 147.
AQI sendiri merupakan indeks yang digunakan AirVisual untuk mengukur tingkat keparahan polusi udara di sebuah kota.
Lembaga ini menggunakan indeks gabungan dari 6 polutan utama, yaitu PM2.5, PM10, karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3) di permukaan tanah.
Rentang nilai AQI adalah 0-500. Semakin tinggi nilai AQI, maka semakin parah pula tingkat polusi udara di kota tersebut dan efeknya pun semakin berbahaya.
Faktor musim kemarau
Lalu bagaimana dengan komentar pihak terkait, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdalih, memiliki ukuran sendiri untuk menentukan tingkat kualitas udara. Oleh karena itu, dia tak mau langsung percaya dengan data AirVisual. Meski memang biasanya, selama Juni-Juli, kualitas udara DKI dalam fase kotor.
Pemprov menuding musim kemarau memberi andil besar pada tingkat polusi udara periode tersebut.
“Jadi kondisi saat ini memang agak kotor. Tapi seberapa kotor tentu harus ada ukurannya, ukurannya untuk kami di Pemprov DKI itu ada di PP Nomor 41 Tahun 1999,” kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih kepada Liputan6.com.
Menurut dia, merujuk peraturan pemerintah itu, rata-rata kualitas udara Jakarta setahun terakhir dikategorikan pada tingkat moderat. “Moderat itu secara singkat tidak membahayakan banget,” tutur Andono.
Oleh karena itu, pemprov tak risau dengan hasil pengukuran AirVisual terkait kualitas udara di Jakarta.
“Kita sambut positif saja. Ini kan memang ada di episode yang kotor tadi. Kondisi seperti itu terjadinya pada 25 atau 26 Juni kemarin. Saya yakin hari sekarang sudah enggak lagi karena cuacanya lebih sejuk, sudah turun hujan,” ujar Andono.
Dia mengungkap akar polusi udara Jakarta adalah masalah transportasi –bertambahnya kendaraan bermotor dan tingginya tingkat kemacetan. Untuk mengurangi masalah itu, lanjut dia, tentu tidak cukup jika pemprov sendiri yang bekerja.
“Kita semua harus mengurangi penggunaan kendaraan bermotor,” ucap Andono.
Dia menilai, pemprov sudah berusaha maksimal mengatasi masalah polusiini. Salah satunya menggeser kebiasaan mobilisasi masyarakat dengan menggunakan transportasi massal, sepeda atau berjalan kaki.
Jikapun harus menggunakan kendaraan pribadi, dia mengimbau agar penggunanya memakai bahan bakar minim timbal.
Akan tetapi, Andono mengaku bisa memahami ketika sejumlah warga yang bergabung dalam Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 6 Juli 2019. Koalisi ini terdiri atas Greenpeace, Walhi dan LBH Jakarta.
“Kami memandang gugatan itu wujud kecintaan warga terhadap Jakarta ini. Sehingga kami tetap secara positif meresponsnya,” kata Andono.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Karliansyah menyatakan, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum berbicara tentang kualitas udara. (Budi Santoso)