sumbangsih-keraton4
DUA PUTRI Sinuhun Paku Buwono XIII yaitu GKR Timoer dan GRA Putri menjadi salah satu daya tarik kontingen Keraton Surakarta, saat bersama anggota kontingen mengikuti karnaval pembukaan FKN 9 di Kota Bima, NTB, 2014. (newsreal.id/Won Poerwono)

*Sumbangsih Masyarakat Adat untuk Jaga Kebhinekaan dan Keutuhan NKRI (2-bersambung)

KERATON SURAKARTA sebagai salah satu di antara 250-an keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang menyatakan diri menggabungkan wilayah kedaulatannya ke dalam NKRI pada 17 Agustus 1945 silam, sangat menyadari tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai salah satu pendiri republik ini, sekaligus sebagai komponen bangsa. Sebab itu, sejak menyatakan diri menjadi bagian NKRI, tiga prinsip dasar yang harus diberikan kepada bangsa dan negara ini akan tetap melekat sampai kapanpun, dan akan dijalankan sekuat tenaga sampai kapanpun, terlebih di saat-saat krusial seperti sekarang ini.

Seperti diketahui, bangsa ini baru saja melewati hajadan besar yaitu Pemilu/Pileg. Tetapi akibat peristiwa politik itu, tali silaturahmi bangsa yang terbentuk dari konsensus 250-an keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang tersebar dari Sabang hingga Merauke ini sedang terkoyak parah. Bangsa ini seakan terbelah dua karena yang sebagian mendukung pasangan calon tertentu, sedang sisanya mendukung pasangan calon lain, yang hingga kini belum juga ”move on’‘ sekalipun sudah ada keputusan hukum tetap dari Mahkamah Konstitusi.

Selaku Sekjen Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN), GKR Wandansari Koes Moertijah memandang tepat sekali, kalau harapan terakhir untuk mengatasi keretakan sendi-sendi berbangsa ini hanya ada pada tali pengikat yang sangat luwes, akomodatif dan netral, yaitu seni budaya. Karena merekalah yang memiliki potensi sumber seni budaya dan memancarkannya menjadi cirikhas bangsa ini, meskipun keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat di Nusantara ini tinggal 47 yang menjadi anggota FKIKN, dan beberapa sisa-sisa kerabat lembaga masyarakat adat yang menjadi anggota FSKN, karena banyak yang ”gulung tikar” akibat berbagai hal, terutama dinamika politik.

”Peran dan fungsi keraton di bidang itu sudah terbukti sampai NKRI ini berusia 74 tahun lo. Dan saya yakin, energi seni budaya itu akan menjadi pengikat bangsa ini sampai kapanpun. Yang jadi pertanyaan, apakah pemerintah/negara bersedia memberi kesempatan kepada kami untuk menjalankan tugas, kewajiban dan tanggung jawab terhadap bangsa ini? Apakah pemerintah/negara bersedia memberi dukungan (bantuan), agar saling bersinergi dan ada kebersamaan untuk mengatasi persoalan bangsa yang terkoyak akibat peristiwa politik ini?,” papar Sekjen (FKIKN) yang akrab disapa Gusti Moeng, menjawab pertanyaan newsreal.id.

sumbangsih-keraton5
PRAJURIT PANYUTRA yang biasanya menjadi pengawal tiap berlangsung upacara adat besar di Keraton Surakarta, ditampilkan sebagai sajian menarik kontingen keraton pada kirab pembukaan FKN 12 di Kabupaten Tanah Datar (Sumbar), November 2018. (newsreal.id/Won Poerwono)

Agar bisa menolong

Banyak adagium dari kalangan tokoh spiritual dan para motivator sering mengatakan, ”…tolonglah orang lain, agar (orang lain) bisa menolong dirimu…”. Narasi ini sangat masuk akal, apalagi ketika dipahami sebagai cara berpikir yang wajar dalam kerangka membangun kerjasama dan kebersamaan antara pemerintah/negara dan FKIKN/FSKN bersama kalangan anggotanya, untuk keperluan mengatasi persoalan bangsa sekarang ini.
Sebab, pemerintah/negaralah yang memiliki kewenangan dengan segala potensi daya dukungnya, selain tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pengayom dan pengayem setiap warga bangsa ini. Uluran tangan institusi inilah yang mampu memberi energi dalam rangka memberdayakan kalangan anggota FKIKN/FSKN, yang kini rata-rata ”kurang bertenaga”, kalau tidak boleh dikatakan ”lumpuh”, padahal tugas/kewajiban/tanggungjawabnya sebagai penyambung/pengikat tali silaturahmi bangsa ini sungguh sangat besar dan sedang menunggu.

Melihat posisi masing-masing dan kemungkinan serta sisi positif apabila kedua potensi itu saling menolong, saling memberi energi dan saling memberdayakan, maka akan makin berdaya apabila seni budaya yang dipancarkan dari sumber-sumbernya yaitu lingkungan lembaga masyarakat adat baik yang tergabung dalam FKIKN dan FSKN itu, akan menjadi obat mujarab terhadap ”sakit” yang diderita bangsa ini akibat peristiwa politik Pilpres/Pileg 2019 yang dinilai banyak pihak paling banyak ”kerusakan” yang ditimbulkan itu. Obat mujarab itu adalah Festival Keraton Nusantara (FKN) yang digelar FKIKN sejak 1995, juga FKN dan Masyarakat Adat Asean (MAA) yang digelar pertama oleh FSKN di Cirebon 2017 itu, selain produk-produk kegiatan kedua lembaga itu yang berkait dengan bidang kepariwisataan, ekonomi kreatif dan sebagainya.

Sekarang, Pileg/Pilpres sudah lewat dan hasilnya juga sudah kelihatan, di antaranya, mantan Wali Kota Solo Jokowi terpilih lagi menjadi Presiden RI untuk kali kedua, berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Tinggal menunggu pelantikan saja, tak ada salahnya apabila diingatkan kembali agenda-agenda tugas ke depan yang sudah menunggu, bahkan mendesak untuk dilakukan. Salah satunya yang menyangkut ”kesepakatan” dengan FKIKN/FSKN, berkait dengan tugas/kewajiban/tanggungjawab yang akan dijalankan demi keutuhan bangsa yang bhinneka ini, NKRI, tegaknya UUD 45 dan Pancasila.

”Sekarang ‘kan sudah longgar. Tidak terhalang proses Pemilu/Pilpres. Hasilnya sudah jelas. Saya akan menagih janji Presiden. Baik yang menyangkut rencana pemerintah merenovasi dan merekonstruksi keraton-keraton yang sudah rusak atau hilang. Maupun janji khusus untuk Keraton Surakarta, yaitu menuntaskan rekonsiliasi yang sudah dimulai tetapi berjalan salah arah. Hasilnya malah tidak karu-karuan. Kacau dan runyam. Saya yakin, itu akibat dijalankan tidak sesuai arahan Presiden,” sebut Gusti Moeng yang masih berstatus selaku Pengageng Sasana Wilapa itu, sedikit menyinggung sambutannya di hadapan sekitar 400-an abdidalem garap yang hadir dalam acara pertemuan silaturahmi rutin tiap bulan di Pendapa Sitinggil Lor, medio Juni lalu.

sumbangsih-keraton6
GUSTI MOENG selaku Sekjen FKIKN selalu ditampilkan di baliho dan papan-papan publikasi bersama tokoh adat dan pejabat pemerintah setempat, seperti yang tampak di pagar kantor Sekretariat Panitia FKN 10 di Kota Pangkalan Bun Kabupaten Kota Waringin Utara, Kaltim, 2016 lalu. (newsreal.id/Won Poerwono)

Festival keraton

Yang disebut ”Putri Mbalela” peraih penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang tahun 2012 itu, sinergi dan pemberdayaan dari pemerintah/negara, termasuk uluran tangan untuk mengatasi situasi dan kondisi internal masing-masing lembaga keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat, termasuk yang sedang dihadapi Keraton Surakarta kini. Namun, sinergi atau pemberdayaan jangan diartikan sebagai intervensi (negatif) atau ikut campur dalam urusan internal masyarakat adat dalam menjalankan norma-norma adatnya, seperti yang dialami Keraton Surakarta dan Kesultanan Gowa (Sulawesi selatan).

Sinergi/pemberdayaan/dukungan pemerintah/negara sangat diharapkan agar produk-produk FKIKN dan FSKN yaitu FKN maupun FKN-MMA bisa terselenggara rutin sesuai kebutuhan dan tepat sasaran, terutama untuk menjalankan agenda, bersama, merajut kembali tali silaturahmi bangsa yang sedang retak sekarang ini. Setidaknya, penyelenggaraan FKN ke 13 yang akan digelar di Tana Luwu (Kedatuan Luwu), Kabupaten Luwu Utara, Sulsel, Oktober mendatang, merupakan ajang yang paling tepat bagi pemerintah/negara untuk bersinergi/memberdayakan guna mengatasi keperluan-keperluan mendesak di atas.

FKN 13 yang digelar FKIKN bekerjasama dengan Pemprov Sulsel dan tiga kabupaten setempat di antaranya Luwu Utara tempat Kedatuan Luwu berada, sudah disiapkan dengan rancangan yang berbeda dari event tahun-tahun sebelumnya yang banyak terfokus pada gelar potensi seni budaya anggota FKIKN. Namun, sudah dirancang akan ada dialog kebudayaan yang punya jangkauan bidang lebih luas sesuai kebutuhan masa kini, misalnya kearifan lokal, ekonomi kreatif, teknologi berbasis potensi lokal, selain yang menyangkut sektor pariwisata, heritage, pendidikan, penguatan kelembagaan selain festival kuliner sebagai potensi ekonomi kreatif warga di lingkungan kesultanan/kedatuan setempat.

”Jadi, selain gelar potensi kekayaan seni budaya yang punya tujuan pengenalan keanekaragaman atau kebhinekaan, itu juga sudah jadi komoditas pariwisata. Belum lagi dialog-dialog dan diskusi di antara kami anggota yang bhinneka ini, kemudian juga melibatkan masyarakat luas dari berbagai lapisan. Tentu akan memperkaya wawasan kebangsaan. Festival kuliner dan handycraft terutama batik khas lokal, tentu bisa menyentuh urusan pemberdayaan ekonomi lokal, regional bahkan nasional. Inilah sumbangsih kami (masyarakat adat),” tunjuk mantan anggota DPR RI dua periode (terpisah) yang juga Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta itu. (Won Poerwono).

Tinggalkan Pesan