*Karena ”Diinjak-injak Gajah”, Disiapkan Dua Sekoci
BERLANGSUNGNYA wisuda paringan asma dan gelar sesebutan terhadap sekitar 130 sentana dan abdidalem anggota Paguyuban Kulawarga Keraton Surakarta (Pakasa) di ndalem Kayonan, Baluwarti, siang tadi (24/8), sungguh berada dalam suasana kurang melegakan, namun membanggakan karena semangat untuk berjuang dan bertahan didorong.
Di tengah upacara adat pemberian nama, gelar dan sebutan baik bagi sentana dan abdidalem yang lama maupun yang baru, berturut-turut terdengar cerita yang membuat suasana agak sedih, tetapi akhirnya berubah drastis menjadi melegakan dan penuh semangat.
Suasana yang menempel sejak awal upacara dimulai pukul 09.30 WIB itu, adalah terjadinya sebuah insiden yang berlangsung di kantor eks Badan Pengelola (BP) Keraton Surakarta, Rabu malam sekitar pukul 22.00 WIB. Di kompleks perkantoran KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Lembaga Hukum Keraton Surakarta (LHKS), sekaligus yang dijadikan kompleks perkantoran Pengageng Sasana Wilapa dan sejumlah bebadan itu, malam itu kedatangan ”tamu” sejumlah personel aparat kepolisian kota.
Kedatangan sejumlah aparat kepolisian yang ditemui KPH Edy Wirabhumi dan GKR Galuh Kencana itu, bermaksud hendak menutup kegiatan perkantoran di eks kantor BP untuk selamanya. Petugas yang bertanggungjawab memimpin sejumlah aparat itu, menyatakan hendak menyegel kantor atas perintah atasannya di tingkat kota atas dasar permintaan dari Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII.
Gajah Mengamuk
Jalannya peristiwa ini memang tidak diungkapkan KPH Edy Wirabhumi di depan peserta upacara adat secara detil dan jelas. Namun secara tersamar hanya menyebut, bahwa kehormatan dan wibawa Keraton Surakarta diibaratkan kini bagaikan sekelompok semut, yang sedang ”diinjak-injak gajah” yang rata-rata berukuran besar.
Beberapa ekor gajah berukuran besar yang dilukiskan seperti sedang mabuk itu, mengamuk dan tidak henti-hentinya menerjang apa saja dan merusakkan apa saja. Kawanan gajah besar yang sedang mabuk dan mengamuk itu, sudah sejak tahun 2004 dan puncaknya sekarang ini, bahkan baru sajak terjadi (Rabu malam).
”Dados, sampun wiwit 2004 rikala wonten jumenengan nata gumantosipun Sinuhun Paku Buwono XII dumateng Paku Buwono XIII, gajah-gajah liar utawi mabuk menika sampun ngamuk. Pangamukipun ngantos sepriki. Sadaya risak, dipun diidak-idak. Dipun obrak-abrik. Pramila leres, kula lan panjenengan mugi dipun paringi kekiatan, mugi lampahipun jejeg anggen panjenengan sadaya kaliyan kula sami nindakaken gawa-gawene, nglestantunaken budaya Jawi,” pinta KPH Edy Wirabhumi dalam bahasa Jawa krama inggil saat memberi sambutan selaku Pangarsa Punjer Pakasa.
Dalam penjelasannya itu juga dilukiskan, seandainya Keraton Surakarta sampai rusak akibat diamuk dan diinjak-injak gajah yang sedang mabuk, hingga tidak lagi bisa disinggahi kerabat besar yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA), dirinya sudah menyiapkan beberapa skenario.
Selamatkan Keraton
Skenario pertama berupaya menyelamatkan Keraton Surakarta sambil tetap beraktivitas di luar keraton walau dengan dengan sekoci kecil, sedang skenario kedua benar-benar berada di luar dengan menggalang ikatan keluarga besar kerabat dan menjalankan aktivitas adat dan budaya Jawa dengan bendera Keraton Mataram Surakarta.
Apa yang diungkapkan Ketua Pusat Pakasa itu, beberapa hal di antaranya menyinggung isi sambutan GKR Wandansari Koes Moertijah selaku Ketua LDA maupun sebagai Pengageng Sasana Wilapa.
Karena dalam pidato Gusti Moeng itu, dijelaskan berbagai persoalan keraton yang muncul sejak proses suksesi 2004, tetapi hingga kini belum bisa diselesaikan hanya gara-gara campurtangan pihak luar yang tidak begitu jelas keinginannya, tetapi sudah berakibat telah merusak nilai-nilai budaya dan paugeran adat yang digariskan para leluhur Dinasti Mataram.
”Kula lan para sentana trah darah dalem Sinuhun Amangkurat ngantos trahipun Sinuhun Paku Buwono XIII ingkang dipun wadahi wonten Lembaga Dewan Adat, ngantos sakmenika tetep kekeh lan kenceng anggenipun nindakaken paugeran adat tilaranipun para leluhur. Amargi paugeran budaya Jawi menika ingkang sampun nuntun gesang kula lan panjenengan sadaya. Pramila, kula nyuwun supados kita jagi ikatan kekerabatan kula lan panjenengan sami, supados handayani anggen kula lan panjenengan nindaaken kewajiban nglestantunaken budaya Jawi lan paugeran-paugeranipun ingkang sampun dados tuntunaning gesang bebrayan ageng bangsa. Menawi kerabat trah kemawon sakmenika wonten cacah 11 juta, sumber ing Nusantara lan wonten ingin negari manca, menika ateges mencaripun budaya Jawi saget ngatos sakindenging jagat,” tunjuk Gusti Moeng.
Sambutan
Mendengar ungkapan Ketua Pusat Pakasa dan Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa, di antara para kerabat yang habis diwisuda diminta menyampaikan sambutannya. Di antaranya datang dari mantan Dandim 0722 Kudus yang baru saja masuk ke jajaran Badan Pelaksana Pusat Intel Mabes AD, Kol Inf Sentot Purnomo yang siang itu mendapat kekancingan tentang gelar adatnya yaitu KRA Sentot Purnomo.
Dalam sambutannya, Bupati riya nginggil yang baru itu menyampaikankan terima kasih telah diterima menjadi bagian dari lembaga masyarakat adat Keraton Surakarta atau Mataram Surakarta. Selain akan menepati apa yang menjadi konsekuensi atau gawa-gawene sebagai anggota masyarakat adat, dia meminta doa restu semua kerabat agar bisa membantu mengatasi persoalan Keraton Surakarta yang sedang dilanda prahara.
”Dari sejarah yang benar-benar saya dalami, ternyata Belanda tidak pernah bisa menjajah (Mataram) Surakarta. Tetapi memang benar muncul Jogja, Mangkunegaran dan sebagainya, karena ada sengkuni-sengkuninya di antara para kesatria dan pandita. Bahkan saya tahu, tanpa ada Surakarta, tidak mungkin ada NKRI. Itu semua karena berjalan dengan nilai-nilai paugeran. Selama tetap peduli pada leluhur dan berpegang pada nilai-nilai adi luhung yang ditinggalkan, keraton akan tetap lestari sepanjang masa. NKRIpun juga akan tetap tegak berdiri,” tegasnya dalam bahasa Indonesia setelah mencoba dalam bahasa Jawa tetapi kurang lancar.
Dorongan semangat juga diberikan Kompol Setyo Bimo Anggoro, seorang personel Polri yang kini bertugas di Sidoarjo (Jatim). Perwira menengah yang mendapat gelar sesebutan KRA Setyo Adinagoro itu dengan terang-terangan menyatakan bahwa budaya yang paling kuat adalah budaya Jawa.
Karena, budaya itu masih dijalankan dengan baik dan mampu melewati berbagai zaman hingga kini, karena nilai-nilainya tetap dijalankan dan dijaga dalam peran apa saja di lingkungan masing-masing.
Setelah mempelajari dan memahaminya, diyakini bahwa eksistensi dan kelestarian budaya Jawa karena masyarakat yang melegitimasinya masih menjaga nilai-nilainya dan masih menjaga kehormatannya. Sebab itu, dalam budaya Jawa yang selama ini dipelajari, telah memberi arah dan tuntunan bahwa segala sesuatu yang dilakukan, apabila didasari dengan niat yang baik, tulus dan ikhlas, pasti akan membawa berkah untuk semuanya.
”Saya juga mendengar tentang apa yang sedang dihadapi Keraton Surakarta. Tetapi bagi kita yang memiliki ikatan kuat dalam budaya Jawa, sangat yakin tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan,” tegas KRA Setyo Adinagoro yang disambut antusias penuh semangat semua yang hadir. (Won Poerwono)