wayang-jadi-tuntunan7
MUDA TAPI SANTUN : Ki Purbo Asmoro masih termasuk jajaran dalang muda, berpendidikan, berbakat, cerdas tetapi santun. Meski ikut kehilangan penonton di rumahnya, di tangannya transfer tata nilai tuntunan akan banyak didapat asalkan penontonnya bisa memahami bahasa pedalangan konvensional yang digunakan. (newsreal.id/Won Poerwono)

Wayang Masih Menjadi Tontonan dan Tuntunan (3-bersambung)


SEKALIPUN maestro dalang Ki Manteb Soedarsono, pemilik segudang penghargaan secara nasional dan internasional itu seolah memberi jaminan bahwa seni pertunjukan wayang kulit masih menjadi tontonan sekaligus tuntunan yang baik, namun fakta di tengah masyarakat menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi dan desakralisasi pada kualitas secara esensial seni pertunjukan itu.

Artinya, bukti-bukti dan jaminan yang dicontohkan Ki Manteb tetap rawan oleh berbagai ancaman akibat perubahan sosial, politik, budaya dan sebagainya yang berupa pendakalan cara menyikapi, memahami, mengapresiasi dan perubahan sikap positif lain yang biasanya tumbuh secara alami di kalangan insan pelegitimasi budaya Jawa khususnya seni pakeliran.

Meski proses gerusan akibat ancaman itu pelan-pelan dan sedikit demi sedikit, tetapi mampu mendegradasi dan mendesakralisasi seni pakeliran wayang kulit sungguh serius, dan hasil akhirnya seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Bahkan, apabila berbagai faktor pendukung pelestarian seni pedalangan itu tetap saja dalam posisi seperti sekarang, dan tak ada upaya serius untuk menanggulanginya, proses penggerusan itu akan berjalan terus dan suatu saat entah kapan, seni pertunjukan wayang kulit bisa hanya menjadi sebuah rekaman video/film dokumenter.

Dokumen Unesco

wayang-jadi-tuntunan8

DALANG BERKUALITAS : Sanggar Pawiyatan Pedalangan Keraton Surakarta, Bale Agung, yang berada di kawasan Alun-alun Lor, sering menghadirkan dalang berkualitas terutama santun, tetapi karena berbagai faktor kesulitannya, penonton pentas-pentasnya ya hanya belasan orang.(newsreal.id/Won Poerwono)

Sampai kapan lembaga studi tentang wayang seperti SMKN 8 dan ISI, ajang ekspresi TBS, lembaga penyiaran RRI, juga sanggar-sanggar seni pedalangan akan bertahan, tetapi proses itu akan tetap berjalan terus. Sebab, tak satupun metode yang bersifat gerakan, yang melembaga dan tersistem, menjadi aktivitas nyata untuk merubah keadaan seperti sekarang ini.

Edukasi tentang tontonan gratis, meriah dan penuh tuntunan dari pertunjukan wayang kulit, mungkin hanya akan tinggal kenangan. Karena kisah tentang seni pertunjukan wayang kulit dengan segudang dalang profesional berkualitas, banyak prestasi, punya nama kaliber dunia dengan segala aspeknya, hanya bisa dikenang lewat dokumentasi pengakuan tentang wayang di Unesco (2003) atau badan sejenis lingkup Asia yang bernama UNIMA Asia-Pasific Commision (2017) yang mengakui Ki Manteb Soedarsono sebagai representasi wayang kulit, misalnya.

Dari beberapa tempat itu, jejak wayang kulit hanya akan bisa dikenal lewat rekaman pertunjukan itu atau dimaknai sebagai sebuah fakta sejarah masa lalu, sementara berbagai hal yang menyangkut aktivitas pertunjukan dan percaturannya, akan lenyap dari tengah kehidupan nyata bumi Nusantara. Soal tuntunan atau sekadar tontonan itupun, hanya akan diketahui jejaknya lewat pusat-ousat dokumentasi, yang bisa dilacak lewat perangakat digital teknologi internet.

Pola Sikap Santun

wayang-jadi-tuntunan9
DIBIAYAI APBD : Pengurus Pepadi Solo yang berupaya eksis dengan badan hukum, berusaha eksis beraktivitas dengan biayai APBD. Tetapi penonton yang digelar, ya seperti yang terlihat pada gambar. Karena lembaga ini belum bisa mengedukasi publik secara luas untuk mencari tuntunan lewat tontonan wayang. (newsreal.id/Won Poerwono)

Sebagai ilustrasi, sampai menginjak di tahun 1990-an saja, tukang becak yang banyak mangkal di sudut-sudut perempatan di Kota Solo, dengan santunnya menawarkan jasa tumpangan dengan bahasa Jawa krama madya. ”Bu/pak/mas/mbak, badhe tindak pundi..? Dipun derekaken becak….?.” Bahasa santun itu memang datang dari para awak jasa transportasi bertenaga manusia yang masih banyak dijumpai selain andong, di saat mobil angkutan kota (angkot) dan bus kota sudah banyak berlalu-lalang tanpa perlu aksi promo seperti itu.

”Ndisik nawani nganggo basa alus. Ning saiki malah medeni, merga mung ngulatke, mentheleng. La ning wong wis arang-arang sing nggunakne becak. Kabeh wis padha numpak motor lan mobil. Kuwi conto sing gampang nggambarake sikap sopan-santun wong-wong sing isa makili para pecinta wayang. Basa genep wae ora mudeng, trus piye carane memahami wayang sing nganggo basa krama inggil.”

”Apa maneh akeh basa Sansekerta, utawa istilah-istilah seni pedalangan liyane sing mesti digunakne neng nggon pentas wayang. Apa iki sing njalari kanca-kanca dalang ngladeni kekarepane penonton nggunakne istilah melayani selera pasar kae?,” papar Ki Manteb dalam bahasa Jawa krama ngoko untuk mencoba menganalisis, menjawab pertanyaan newsreal.id.

wayang-jadi-tuntunan10
PUNYA FANS CLUB : Maestro dalang Ki Manteb Soedarsono, kebih beruntung karena punya cara efektif melakukan transfer tata nilai tuntunan dari tontonan wayang yang dilakukan. Yaitu melalui sarasehan/diskusi kecil dengan fans club yang bernama Paguyuban Sutresno Manteb Soedarsono (PSMS) yang anggotanya belasan ribu, tersebar luas di Jawa dan luar Jawa yang sering bertemu di rumahnya. (newsreal.id/Won Poerwono)

Penulis yang ikut menyusun buku ”Profil Pakeliran Ki Manteb Soedarsono; Menjadikan Wayang Enak Dipandang” (2001), hendak menunjukkan bahwa sampai di tahun 1990-an itu, kehidupan sosial budaya piblik secara luas khususnya di Solo, rata-rata masih punya pola sikap yang begitu santun saat berinteraksi dengan sesamanya. Situasi dan kondisi seperti itu, tentu berkait dengan atau tidak beda jauh bagaimana posisi seni pakeliran atau seni pertunjukan wayang kulit.

Dengan kata lain, di tengah suasana kehidupan yang masih ketat menjaga nilai-nilai budaya Jawa dalam pergaulan sosial sampai di tingkat paling bawah (dari sisi pendidikan-Red), kualitas sikap dan kualitas hubungan sosial yang ada tidak beda jauh dengan suasana yang terjadi dalam aktivitas seni pakeliran wayang kulit.

Standar Etika Rendah

Dalam profil hubungan sosial kemasyarakatan yang njawani seperti itulah, tentu juga tercermin ketika ada pertunjukan wayang kulit yang selalu menawarkan tuntunan/pedoman berkehidupan, sementara publik yang menyaksikanpun juga sudah siap mengapresiasi dan menangkap pesan-pesan moral tuntunan yang disajikan dalang, selain mendapat kemeriahan/kelucuan unsur tontonannya.

Tahun 1990-an menjadi batas pertahanan apa saja yang semula kuat terbentengi oleh nilai-nilai yang bersumber dari budaya Jawa. Tetapi setelah itu, memasuki alam reformasi (Orde Reformasi/1998), angin puting beliung perubahan menjungkir-balikkan segalanya, termasuk mempengaruhi pola sikap setiap individu dalam hubungan sosial kemasyarakatannya, hingga sering tampil dengan sikap, perilaku dan pola pikir yang kasar, baik langsung di muka publik maupun di media sosial yang terkesan tanpa basa-basi, hingga mencerminkan rendahnya standar etika publik.

wayang-jadi-tuntunan11
BERBAGAI UPAYA : Dalam beberapa waktu yang lalu, setiap ada pentas wayangan weton kelahiran Ki Purbo Asmoro di rumahnya Gebang, Kadipiro, Banjarsari, selalu dilengkapi dengan layar monitor. Berbagai upaya sudah dilakukan, agar transfer nilai-nilai tuntutnan yang terkandung dalam tontonan itu mudah dipahami sehingga menambah daya tarik penonton.
(newsreal.id/Won Poerwono)

Faktor kesempatan mengedukasi tentang bahasa (Jawa) dan etika yang makin minim, menjadi intisari dari persoalan ”sulitnya” mendapatkan tontonan yang syarat tuntunan akhir-akhir ini. Kata sulit bisa berarti pertunjukan wayang sudah langka di wilayah tertentu, atau tidak merata, karena memang tidak ada yang menonton, tidak ada yang mau membiayai dan ada kelompok yang selalu mengembuskan opini bahwa menggelar pentas wayang hanya membuang-buang duit. (Won Poerwono-bersambung)

Editor Budi Sarmun 

 

Tinggalkan Pesan