*Tak Bisa Penuhi, BPR Dilarang Membagi Laba
SOLO,newsreal.id – Sejumlah BPR di Soloraya bersusah payah memenuhi kewajiban modal inti minimum, sebagaimana disyarakat di Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomer 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat.
BPR wajib memenuhi modal inti minimum Rp 3 M bagi yang modalnya di bawah Rp 3 M dan bagi BPR yang modalnya di atas Rp 3 M dan di bawah Rp 6 M diminta memenuhi modal inti minimal Rp 6 M.Selain itu ada pemilik BPR mencari uang dengan menjual aset pribadi di luar BPR, ada pula yang mencari investor.
Bahkan ada yang terpaksa menjual BPR ke pihak ketiga. Begitu pengakuan para pemilik saham dan komisaris utama BPR/BPRS di Soloraya saat ditemui terpisah.
“Jujur saja, teman-teman BPR tidak begitu suka POJK Nomer 5 Tahun 2015 tentang kewajiban modal inti minimum. Kami diwajibkan memenuhi modal inti minimum, sehingga tidak bisa membagi laba, sebelum kewajiban itu terpenuji,” kata Komisaris Utama BPR Arthasari Sukoharjo Sih Yuanti yang diamini Komisaris BPR Rezeki Insani Kho Kiem Pwee, dan Komisaris BPR Syariah Dana Mulia Solo itu.
Sesuai POJK Nomer 5 Tahun 2015, pemenuhan modal inti minimum BPR/BPRS paling lambat 31 Desember 2019. Di Soloraya, dari 81 BPR/BPRS yang modal intinya di bawah Rp 3 M hanya ada 6 BPR/BPRS dan di atas Rp 3 M tapi dibawah Rp 6 M sebanyak 22 BPR/BPRS, selebihnya 53 BPR/BPRS modal intinya di atas Rp 6 M.
POJK itu juga menyebut, bagi BPR yang belum memenuhi modal minimum dilarang membagi laba dan dilarang membayar kembali komponen modal inti.
“Untunglah, semua BPR di Soloraya telah memenuhi kewajiban modal inti minimum, hingga 31 Desember 2019, termasuk 12 BPR yang terakhir melakukan pemenuhan,” kata Wakil Kepala Bidang Pengawasan OJK Kota Solo Tito Aji Siswanto, Senin (6/1).
Senada dikatakan ketua Paguyuban Pemegang Saham dan Komisaris (Pesakom) BPR/BPRS Soloraya Wimbo Wicaksono, di sela seminar outlook 2020 di sebuah hotel di Solo, Senin (6/1).
Menurut dia, persolan yang dihadapi BPR/BPRS tidak hanya kewajiban modal inti minimum. Ia mengatakan, BPR/BPRS bakal mengahadapi tantangan serius di 2020, karena pemerintah menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 7 persen menjadi 6 persen.Tidak hanya menurunkan suku bunga tetapi juga menaikkan plafon KUR menjadi 325 T, serta plafon pada debitur mikro pun akan ditingkatkan dari Rp 25 juta menjadi Rp 50 juta.
Imbasnya, segmen KUR menyasar debitur yang sama dengan BPR yakni pelaku usaha mikro. Tantangan lain yang cukup berat adalah persaingan dengan pinjaman online alias financial technology (fintech) peer to peer lending yang terus bertambah jumlahnya dan kini mencapai sekitar 121,76.persen.
“Mestinya ada regulasi pemerintah, yakni OJK yang membawa angin segar untuk pelaku bisnis BPR agar bisa menjadi PT (Perseroan Terbatas) Terbuka dengan diberi izin melakukan perubahan anggaran dasar. Dimana pemegang saham tidak dibatasi WNI, karena perusahaan fintech bermodal asing yang unlimited resources dan operasional diseluruh Indonesia,” kata Wimbo.
Sementara itu ketika menyampaikan sambutan seminar, Kepala Bagian Pengawasan Bank OJK Surakarta Dinavia Tri Riandari mengatakan, sumber daya manusia (SDM) masih menjadi masalah bagi BPR untuk bisa berkembang. Karena itu pihak otoritas menyusun “masterplan” untuk memperkuat sektor jasa keuangan, termasuk BPR/BPRS.Diakui, dari hasil survei oleh OJK, sektor SDM memang masih menjadi tantangan bagi BPR/BPRS.
“SDM ini penting terkait akselerasi peningkatan literasi keuangan di masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan edukasi kepada masyarakat,” katanya.