renungan-kemerdekaan1
SUASANA 17-AN : Dalam suasana peringatan 17-an di tahun 2018 lalu, segenap bebadan dan kerabat besar trah Sinuhun Amangkurat hingga putra-putri PB XIII yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat, menggelar aksi untuk berbagai pihak di antaranya pemerintah, agar ingat tanggungjawabnya kepada eksistensi lembaga Keraton Surakarta.(newsreal.id/Won Poerwono)

 

*Dari Presiden Soekarno untuk Keraton Surakarta (1-bersambung)

WALAU baru lewat dua hari, gegap-gempita peringatan dan perayaan hari bersejarah bagi segenap bangsa Indonesia masih di mana-mana gemanya, baik Tanah Air maupun di kantor-kantor Kedubes RI di luar negeri seperti yang disiarkan beberapa TV di Tanah Air.

Bagi Keraton Surakarta, dua hari setelah tanggal 17 Agustus justru memiliki makna yang sangat berharga. Karena setelah penjajahan disingkirkan dari bumi Nusantara tanggal 17 Agustus itu, Presiden RI pertama Ir Soekarno menyerahkan Piagam Kedoedoekan (Kedudukan) kepada Sinuhun Pakoe Boewana (Paku Buwono) XII.

Piagam itu tentu bukan untuk diri pribadi Sinuhun Paku Buwono XII, seperti asumsi dan interpretasi sebagian elemen di keraton kesulitan membedakan antara kata imbuhan ”dalem” (lembaga) dan ”ingsun” (aku/pribadi). Tetapi, piagam itu merupakan penghargaan terhadap lembaga masyarakat adat Keraton Surakarta selaku penerus Dinasti Mataram, karena Sinuhun selaku representasi lembaga telah menyatakan bahwa nagari Surakarta Hadiningrat menggabungkan diri ke dalam NKRI.

Oleh sebab itu, ketika Sinuhun Paku Buwono XII menerima Piagam Kedudukan tanggal 19 Agustus atau dua hari setelah kemerdekaan RI diproklamasikan Ir Soekarno dan M Hatta, menjadi sebuah realitas bahwa Keraton Surakarta menyatakan meleburkan diri ke dalam NKRI. Apalagi di situ, Sinuhun Paku Buwono XII menyatakan berdiri di belakang NKRI.

Baik dalam buku yang ditulis Dr Sri Juari Santosa MEng berjudul ”Suara Nurani Keraton Surakarta” (2002) maupun karya Julianto Ibrahim SS MHum berjudul ”Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” (2011) tidak ada satupun kalimat yang menyebutkan bahwa Keraton Surakarta bekas jajahan Belanda maupun Jepang. Tiada pula satu kalimatpun yang menyebut bahwa Keraton Surakarta pernah ”ditaklukkan” atau ”kalah perang” oleh kekuatan negara manapun, termasuk NKRI.

renungan-kemerdekaan2
BALIHO BESAR : Sebuah baliho besar berisi kalimat ”Piagam Kedudukan” yang diterbitkan Presiden Soekarno, 19 Agustus 1945, dalam beberapa tahun bertutur-turut selalu terpajang di salah satu sudut Gapura pintu masuk kawasan Keraton Surakarta. Baliho itu untuk mengingatkan semua pihak, terutama pemerintah agar tidak lupa tanggungjawab dan kewajibannya terhadap keraton. (newsreal.id/Won Poerwono)

Sangat Jelas dan Tegas

Oleh sebab itu, teks Proklamasi yang dibaca Ir Soekarno selaku Presiden RI yang waktu itu didampingi Wapres RI M Hatta pada 17 Agustus 1945, tentu sudah sangat jelas dan tegas menunjuk maksudnya serta berkekuatan hukum terhadap lahirnya Piagam Kedudukan. Teks yang berbunyi ”Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan bahwa kemerdekaan …………….; Hal-hal yang berkenaan dengan pemindahan kekuasaan, akan diselenggarakan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” sudah memenuhi berbagai aspek terutama pengakuan NKRI terhadap eksistensi satuan pemerintahan yang ada sebelum NKRI lahir, yaitu nagari Surakarta Hadiningrat atau Keraton Surakarta.

Bertolak dari beberapa hal di atas, maka tanggal 19 Agustus atau 74 tahun yang lalu, kini jatuh pada hari Senin (19 Agustus 2019), jelas merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Keraton Surakarta bersama masyarakat adat penerus Dinasti Mataram yang ada di dalamnya, meski tidak diperingati secara khusus. Dan tentu saja, sama besar makna dan artinya terhadap 17 Agustus (1945), karena merupakan tonggak sejarah baru bagi keraton yang sejak itu berada dalam naungan NKRI, untuk merdeka dan berdaulat bersama seluruh komponen bangsa se-Nusantara.

Dengan pemahaman itu pula, sudah selayaknya seluruh warga bangsa ini mengapresiasi hasil perjuangan para perintis kemerdekaan, termasuk Sinuhun Paku Buwono X yang telah lama menempatkan keraton sebagai daya dukung di balik keinginan bersama untuk merdeka. Termasuk pula sejumlah kerajaan di Nusantara, yang memiliki posisi sama, merasakan kondisi yang sama dan sama-sama berkeinginan luhur, yaitu bekerjasama untuk mendorong terciptanya Nusantara yang merdeka dan berdaulat.

”Dari inventarisasi yang saya lakukan selama bertemu dengan para anggota FKIKN sejak 1995, ada 13 kerajaan di Nusantara yang berdaulat penuh sebelum kemudian menggabungkan diri ke dalam NKRI. Termasuk Keraton Surakarta. Mereka itu tidak dijajah siapa-siapa. Juga tidak kalah perang dari siapapun. Maka, bunyi kalimat terakhir teks proklamasi itu dalah fakta sejarah yang membenarkan kesistensi ke-13 keraton itu. Fakta ini tidak bisa dihapus atau diingkari.

Pertanyaannya, bunyi teks proklamasi itu terus bagaimana pelaksanaannya? Sekarang mau diapakan?,” sebut GKR Wandansari Koes Moertijah selaku Sekjen FKIKN sambil bertanya-tanya, menjawab pertanyaan newsreal.id, tadi pagi.

renungan-kemerdekaan3.jpg
KERATON DAN UUD 45 : Keraton Surakarta, UUD 45 dan Piagam Kedudukan 19 Agustus 45 merupakan tiga hal yang selalu berkaitan. Sebab itu, GKR Wandansari Koes Moertijah selaku Ketua LDA, GKR Ayu Koes Indriyah (anggota DPD RI) dan seorang intelektual dari UMS selalu berkeliling ke berbagai pelosok desa untuk menjelaskan tiga hal itu, agar pemerintah tidak lupa terhadap tanggungjawab dan kewajibannya. (newsreal.id/Won Poerwono)

Historis dan Yuridis

Baik berdasar catatannya selama menjabat Sekjen Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN) dengan sapaan akrab Gusti Moeng, maupun ketika ditanya tentang beberapa referensi buku dan hasil penelitian ilmiah termasuk karya Dr Sri Juari Santosa MEng dan Julianto Ibrahim SS MHum itu, semua memiliki makna yang sama dan sangat berdasar, baik secara historis maupun yuridis. Artinya, Piagam Kedudukan yang diberikan Presiden Ir Soekarno kepada Keraton Surakarta tanggal 19 Agustus 1945 itu, adalah fakta berkekuatan hukum yang harus diwujudkan dan sudah tidak bisa terbantahkan lagi oleh alasan apapun.

Hari ini, tanggal 19 Agustus atau 74 tahun yang lalu, Keraton Surakarta mendapat Piagam Kedudukan yang secara lengkap berisi kalimat : ”Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan : Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono Senopati Ing Ngalogo Abdoerrrahman Sajidin Panotogomo Ingkang Kaping XII, ing Surakarta Hadiningrat pada kedudukannya.

Dengan kepercayaan bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Surakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia…………….” Piagam yang ditandatangani Ir Soekarno itu, lalu diserahkan oleh Mr AA Maramis dan Mr Sartono kepada Sinuhun Paku Buwono XII di Keraton Surakarta, 6 September 1945.

Sampai di sini, perihal Piagam Kedudukan itu dengan jelas dan tegas masih berlaku, selama NKRI masih ada, UUD 45 masih ada dan selama teks Proklamasi itu masih ada. Dan sampai kapanpun, selama tiga dari sejumlah hal yang menjadi fakta historis dan yuridis itu ada, Piagam Kedudukan itu akan tetap terus berlaku dan perlu diwujudkan.

renungan-kemerdekaan4
UJI MATERI : Pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra saat berada di antara kalangan kerabat Keraton Surakarta, sebelum pengajuan uji materi di Mahkamah Konstitusi tahun 2012, untuk memisahkan Surakarta dari Provinsi Jateng seperti yang semula dimaksud dalam Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945. (newsreal.id/Won Poerwono)

Sebab, salah satu fakta historis dan yuridis muncul kemudian yaitu terbitnya Maklumat (Makloemat) Sinuhun (Sri Padoeka Soesoehoenan) Paku Buwono XII bertanggal 1 September 1945. Fakta ini yang akan menjelaskan menguatkan makna momentum 19 Agustus 1945 itu, baik bagi hubungan Keraton Surakarta dengan NKRI dan bagi warga bangsa secara luas. (Won Poerwono-bersambung)

1 KOMENTAR

Tinggalkan Pesan